Mandi Bareng Aja! Asyik Rame-Rame!

Mariska Lubis

MARISKA LUBIS

BLUS! Pyor! Semua wanita, pria dan anak-anak yang turut serta dalam rombongan mandi sore bersama membuka sarung ataupun pakaian yang mereka kenakan. Kecuali saya. Saya hanya bisa melongo di pinggir kali dan bukannya membuka, tetapi malah justru memegang sarung yang saya kenakan lebih erat lagi.Katanya dipisah? Tapi, kok ada banyak laki-laki juga di sana? Gimana mau buka sarungnya?

Tah eta pamisahna (tuh, itu, pemisahnya)” kata seorang wanita yang saya tanya sambil menunjukkan tumpukan batu yang tingginya hanya sebatas lutut.

Yang kayak gitu dibilang pemisah??? Nggak, deh!

Akhirnya saya pun memutuskan untuk kembali ke tempat semula. Sebuah dusun di perkampungan masyarakat Baduy Luar yang sangat jauh dari peradaban. Biarpun capek karena harus nanjak di jalanan tanah berbatu, tetapi daripada daripada, ya mendingan-mendingan.

Sesampainya di atas, saya pun segera kembali ke pondokan tempat saya menginap. Saya biasa menginap di rumah salah satu warga di sana yang memang menerima wisatawan dari luar Baduy.

“Pak, ceunah dipisah? Eta mah ngan batu ditumpuk! Kumaha iyeu?” (Pak, katanya dipisah? Itu, sih, hanya batu ditumpuk! Bagaimana ini?) saya bertanya kepada lelaki pemilik pondokan itu.

Eneng… eneng… eta mah kumaha mikirna we atuh! Mun mandi mah mandi we, tong mikir nu sejen.” (Neng… itu, sih, bagaimana mikirnya saja! Kalau mau mandi, ya mandi saja, tidak usah mikir yang lain) jawab lelaki itu sedikit meledek.

Duar!!! Rasanya kepala ini baru dilempar batu sebesar rumah mendengar jawaban lelaki itu. Malu banget! Memang seharusnya betul, kalau niatnya mandi, ya mandi. Kenapa harus mikir yang nggak-nggak. Dasar orang kota! Otaknya kotor!

Saya akhirnya tetap mandi juga di kali, tapi pakai baju renang. Pikiran kotornya tidak bisa hilang juga, tuh! Hehehe… Tapi kemudian saya merenung di pinggir kali, membayangkan apa yang ada di benak orang-orang itu dan membandingkannya dengan saya. Sebenarnya siapa yang modern, siapa yang primitif, sih?! Saya atau mereka?

Mereka dibilang primitif karena hidup dan tinggal jauh dari kehidupan modern. Jangankan buku, sekolah pun dilarang. Tidak punya WC. Rumah dari bambu. Tidak ada listrik. Bahkan makan daging pun mereka jarang sekali. Paling-paling ikan asin dan daging ayam pas lagi ada hajatan besar. Pokoknya jauh berbeda sekali dengan kehidupan kita pada umumnya.

Sementara itu, mereka masih bisa berpikir bahwa segala sesuatunya harus dilihat dengan pikiran yang terbuka dan hati yang jernih. Bahkan sindiran lelaki tadi, menurut saya sangat luar biasa. Bisa dibilang sangat modern. Dalam sekali arti dan maknanya. Di kota yang mengaku modern dan berpendidikan, jarang sekali saya bisa bertemu dengan orang seperti itu.

Pusing memikirkan ini dan takut tidak bisa enjoy lagi, saya pun kemudian memutuskan untuk segera kembali dan mengobrol dengan penduduk di sana. Seru sekali! Ada banyak pengetahuan yang bisa saya dapat dan jauh dari persepsi saya sebelumnya. Maklum, banyak yang bilang orang Baduy itu jago mistiklah, tidak beradablah, wah pokoknya maca-macam, deh! Tapi ternyata tidak! Mereka sangat indah, menawan, dan sungguh luar biasa.

Dasar otak kotor, setelah ngobrol sana-ngobrol sini, saya pun mulai nyerempet masalah seks. Hehehe… Ingin tahu! Soalnya rumah di daerah ini sangat kecil dan kamarnya pun bisa dipakai rame-rame. Siapa tahu sama seperti mandi rame-rame di kali juga. Who knows?

Si eneng mah kumaha? Ma’ enya “pidamelan” nu kitu di hareupeun budak? Jiga nu teu baleg pisan!” (Si eneng, saya maksudnya, gimana? Masa “kerja” yang kayak begitu di depan anak? Kayak orang nggak waras saja!)

Oops!

Pan aya saung di huma!” (Kan, ada pondokan di ladang!)

Hebat! Top banget, deh, mereka! Saya benar-benar kagum. Soalnya di Jakarta yang rumahnya besar-besar dan banyak kamarnya saja, ada yang suka berhubungan intim rame-rame. Tak sedkit juga yang melakukannya di depan anak kecil. Bahkan berhubungan intim dengan anak kecil! Rame-rame pula!

Yah, ini sih buat perenungan saja. Siapa tahu ada yang mau ikut bertanya pada diri sendiri “Apa kita ini layak disebut modern atau lebih pantas dibilang primtif?”. Mumpung mau Idul Fitri, di mana kita harus menjernihkan hati dan pikiran.

Selamat Idul Fitri. Minal Aidin Walfaidzin. Mohon maaf lahir dan bathin.

Salam,

MARISKA LUBIS

mariskalubis@yahoo.com

Tulisan ini dapat juga dibaca di Kompasiana

Share on Facebook Share on Twitter

~ oleh Mariska Lubis pada September 21, 2009.

4 Tanggapan to “Mandi Bareng Aja! Asyik Rame-Rame!”

  1. Met kenalan..mbak. Aku senang baca tulisan2 mbak, termasuk soal mandi bareng. Ulasan ini sudah sesuai dengan prinsip mbak, yakni bicara seks tak mesti porno. Ak juga sependapat seks tak harus syahwat meski kadang mengundang nafsu. Pemikiran orang modern selalu mengaitkan seks dengan pemuasan nafsu.

  2. Neng… saya pernah mengalami kejadian yg hampir sama di pulau Bali disalah satu kampung daerah Negara.. Laki, perempuan, anak hampir campur mandi disungai, cuman yg perempuan menghadap ke arah tebing. Benar Neng… kita jadinya yg punya fikiran macem-macem, mereka sih tenang2 aja…

Tinggalkan komentar